21 Agustus 2024

Joint Symposium InaHRS-APHRS Mengungkap Teknologi dan Strategi Terkini Guna Menerjang Gelombang Fibrilasi

Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) menggandeng Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS) dalam penyelenggaraan Joi...

Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) menggandeng Asia Pacific Heart Rhythm Society (APHRS) dalam penyelenggaraan Joint Symposium InaHRS-APHRS yang menghadirkan diskusi mendalam tentang kemajuan terkini dalam penanganan fibrilasi atrium (AF). Agenda ini dimoderatori oleh Erika Maharani, MD dan I Made Putra Swi Antara, MD, yang mengatur jalannya diskusi dengan cermat dan informatif.

Materi pertama, “Current Techniques in Ablation for Non-Paroxysmal AF”, dipaparkan oleh Prof. Hui-Nam Pak, MD, PhD. Dalam presentasinya, ia menjelaskan bahwa AF adalah penyakit progresif dan degeneratif yang tidak dapat disembuhkan secara total. Hui-Nam menekankan bahwa penggunaan metode ablasi ekstra-pulmonary vein-left atrium (PV-LA) secara empiris pada persistent atrial fibrillation (PeAF) tidak lagi dibenarkan. dibenarkan. Meski demikian, hasil dari ablasi PeAF masih belum memuaskan. Sel otot epikardial dan jaringan adiposa yang berada di antara membuat isolasi kotak posterior sulit bertahan lama. Oleh karena itu, pemicu non-PV, autonomic nervous system (ANS), atau ablasi right atrium (RA) mungkin menjadi target berikutnya dalam ablation for atrial fibrillation and cardioversion (AFCA). 

Meskipun teknologi high power short duration radiofrequency (HPSD-RF); cryo; atau pulsed field ablation (PFA) telah meningkatkan efisiensi AFCA, hasil akhir masih belum memadai. Ia juga menyoroti bahwa inovasi teknologi, termasuk artificial intelligence (AI) dan digital twin, berpotensi meningkatkan hasil AFCA di masa depan. 

Prof. Datuk Azlan Hussin, MD memaparkan materi kedua dengan judul “Pulsed Field Ablation for AF: Where Do We Stand Now?”. Ia membagikan pengalaman terkait penggunaan Farapulse di Asia Tenggara, yang sudah diluncurkan di Singapura, Malaysia, serta Thailand, dan juga segera di Indonesia dan Brunei Darussalam. Pengalaman ablasi PFA pada Institut Jantung Negara (IJN), Malaysia, menunjukkan waktu prosedur yang lebih singkat dibandingkan dengan cryoablation dan radiofrekuensi, yaitu antara 30 hingga 73 menit. Pengalaman PFA di IJN dengan pemetaan 3D pihak ketiga menunjukkan keunggulan dalam deteksi dan pengobatan celah, posisi kateter, pseenrgtaobpaetmanantauan kontak sehingga menawarkan efisiensi dan ketepatan tinggi pada prosedur ablasi. Materi ketiga, “What Can We Learn from OPTIMA Study: Managing Anticoagulant for Indonesians”, dibawakan oleh Prof. Yoga Yuniadi, MD, PhD. Ia menjelaskan bahwa di Indonesia, vitamin K antagonist (VKA) masih merupakan antikoagulan yang paling umum digunakan untuk stroke prevention in atrial fibrillation (SPAF), dengan terbatasnya pilihan anti-aritmia yang hanya meliputi propafenon, beta-blocker, dan amiodarone. Padahal, panduan tata laksana terkini masih merekomendasikan penggunaan direct oral anticoagulants (DOACs) dibandingkan dengan warfarin, kecuali untuk stenosis mitral atau katup jantung mekanik. Trial juga menunjukkan bahwa novel oral anticoagulants (NOACs) memiliki efektivitas dan keamanan yang superior dibandingkan VKA. Secara teori, memang lebih baik menggunakan NOACs. Akan tetapi, realita di Indonesia sungguh berbeda. Ia juga mencatat bahwa mayoritas pasien AF di Indonesia lebih muda dibandingkan dengan populasi global, yang berdampak pada efek sosial dan produktivitas. Hasil ablasi AF di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia meskipun Indonesia memiliki jumlah pusat ablasi yang lebih banyak. Di sisi lain, terdapat banyak pasien AF yang tidak bergejala sehingga kesadaran tentang penyakit ini harus ditingkatkan melalui skrining mandiri seperti aplikasi MENARI Plus. Selain itu, kampanye tahunan AF di Indonesia perlu diteruskan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai deteksi dan pengelolaan dini. 

Secara keseluruhan, simposium ini menegaskan perlunya inovasi teknologi dan peningkatan kesadaran dalam penanganan AF, yang akan berdampak positif pada hasil terapi dan kualitas hidup pasien. Presentasi dari Prof. Hui-Nam Pak, MD, PhD dan Prof. Datuk Azlan Hussin, MD menunjukkan bahwa inovasi teknologi seperti AI dan PFA dengan pemetaan 3D dapat meningkatkan efisiensi terapi dan kualitas hidup pasien AF. Kendati demikian, pemaparan oleh Prof. Yoga Yuniadi, MD, PhD menegaskan bahwa peningkatan kesadaran dan skrining mandiri bersifat krusial untuk mengatasi tantangan dalam penanganan AF dan penggunaan antikoagulan di Indonesia.