13 Agustus 2024
The 11th Annual Scientific Meeting InaHRS 2024 menyuguhkan sejumlah workshop yang tidak hanya menarik tetapi juga mengan...
InaHRS,8 Agustus 2024, The 11th Annual Scientific Meeting InaHRS 2024 menyuguhkan sejumlah workshop yang tidak hanya menarik tetapi juga mengangkat isu terkini. Satu diantaranya mengusung tema Sport and Arrhythmia, berkaca dari munculnya kembali kasus meninggalnya seorang atlet, kali ini seorang pebulu tangkis asal China yang sedang bertanding di Indonesia bulan Juli lalu. Workshop ini membahas aspek diagnosis dan tata laksana gangguan irama jantung pada kelompok atlet. Kegiatan dengan tema unik yang dimoderatori oleh Ragil Nur Rosyadi, MD ini diikuti oleh sejumlah tenaga kesehatan mulai dari mahasiswa kedokteran, dokter umum, residen kardiologi, hingga dokter spesialis. Berikut adalah ringkasan singkat dari kegiatannya.
Setelah dibuka oleh pelaksanaan pre-test, acara dilanjutkan dengan uraian oleh dokter spesialis kedokteran olahraga Rachmad Wishnu Hidayat, MD yang bertitel The Red Flags of the History and Physical Examination: What Should Not be Missed in Leisure Exercise and Competitive Sports Participation. Atlet didefinisikan oleh Heart Rhythm Society (2024) sebagai semua individu yang terlibat dalam pelatihan terukur, teratur, dan bertenaga secara intens dengan tujuan memperoleh level kebugaran yang lebih tinggi. Berdasarkan studi di Inggris, insidensi tahunan henti jantung mendadak adalah sekitar 1 dari 80.000 atlet di tingkat SMA dan 1 dari 50.000 atlet usia mahasiswa. “Faktor risiko terjadinya major adverse cardiovascular event (MACE) pada atlet adalah pelatihan intens dalam durasi yang lama tanpa disertai jangka waktu pemulihan yang cukup,” tandas Rahmat di akhir presentasinya.
Kemudian, Dwita Rian Desandri, MD, salah satu anggota dari POKJA Prevensi dan Rehabilitasi Kardiovaskular PERKI, menjabarkan lebih lanjut tentang kiat mengidentifikasi adanya abnormalitas hasil EKG pada atlet dalam presentasinya yang berjudul Normal vs Abnormal ECG in Athletes. Dwita mengawali elaborasinya dengan mengatakan bahwa sejumlah literatur menyatakan perubahan hasil EKG pada atlet dapat mulai terlihat sekitar 3 bulan setelah mulai berlatih secara intens. Evaluasi EKG pada atlet perlu memperhatikan latar belakang etnis, usia, jenis kelamin, serta kadar pelatihan dan kompetisi. Dalam presentasinya, Dwita juga menyebutkan klasifikasi EKG normal, borderline, dan abnormal berdasarkan The 2017 International Consensus Standards for Electrocardiographic Interpretation in Athletes. Dwita menutup dengan beberapa contoh hasil EKG atlet, baik yang digolongkan normal maupun abnormal. Kedua presentasi tadi diikuti dengan sesi diskusi yang berlangsung dengan hangat.
Selepas waktu istirahat sejenak, rangkaian acara dilanjutkan dengan pemaparan tentang Managing Athlete with Abnormal ECG oleh dua narasumber yang ahli di bidangnya. Erika Maharani, MD membawakan bagian pertamanya, dengan berfokus pada gangguan berupa atrial fibrilasi, takikardia supraventrikular (SVT), dan aritmia ventrikuler. “Pada atlet dengan adanya premature ventricular contraction (PVC) pada hasil EKG, perlu ditentukan apakah bersifat benign atau justru merupakan tanda potensial adanya penyakit jantung struktural maupun elektrikal,” ucap Erika. Bagian kedua dilanjutkan oleh sang moderator sesi sendiri, Ragil Nur Rosyadi, MD, dengan fokus utama pada gangguan kardiomiopati dan channelopathy. Ragil memaparkan tata laksana pada sejumlah kasus, antara lain long-QT syndrome, Brugada syndrome, kardiomiopati hipertrofik, kardiomiopati aritmogenik, kardiomiopati dilatasi, dan bradikardia. Tata laksana atlet dengan kardiomiopati, channelopathy, dan bradikardia perlu melibatkan integrasi multipel aspek dari kardiologi dan kedokteran olahraga
Presentasi penutup dibawakan oleh Alice Inda Supit, MD dengan tajuk Prevention of Sudden Cardiac Death in Athletes: Identifying Cardiac Pathology and Implementing Automated External Defibrillator (AED). Alice menambahkan penjelasan dari dokterdokter sebelumnya dengan uraian beberapa patologi kardiologi, seperti short QT syndrome dan early repolarization syndrome. Untuk mengakhiri sekaligus menutup sesi Sport and Arrhythmia, diadakan sesi diskusi yang berlangsung selama 30 menit. Para peserta menunjukkan antusiasme yang tinggi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada para narasumber. Sesi diskusi berlangsung dengan dinamis dengan pemaparan jawaban yang komprehensif. Pada penghujung acara, peserta juga tak lupa mengisi post-test untuk mengevaluasi ilmu dan keterampilan yang telah didapatkan. Secara keseluruhan, para peserta workshop menikmati sesi pemaparan dan diskusi yang telah dilakukan seputar olahraga dan aritmia.